Timur tak lagi menjadi kalang matahari menyeruak
Tapi darah dan kekecewaan di atas pundi emas terserak
Timah liar tak terkendali, tak dikenali
bungkam bara suara jiwa – jiwa rindu merdeka
lapar lambung, kosong isi enggan menggembung
Tuhan adalah laras bedil, sejak sembilan belas enam sembilan
Kemanusiaan menjadi kerdil, kutukan atom tujuh puluh sembilan
Tujuh belas Agustus sembilan belas sembilan delapan
Setelah kultus April, fasis layu oleh nyawa empat kafan
Allah berlindung di balik turban, digiring, diteriaki bak kambing jantan
Allah menyusut, kabur, nyaris mati jadi kabut
Dikremasi dan dijadikan tabut
Allahu akbar phobia, sindrom baru buah tangan fasis muda lulusan Malaysia
Tak setuju, berarti lawan
Kafir dan beda, tak boleh berkawan
Menghalang, jangan coba
patah kayu dan bambu, kepala bernoda
polisi bedebah persis marsose kumpeni
hilang eksistensi, sekejap jadi pengamat di televisi
Kemerdekaan adalah tangis musim hujan yang panjang
seperti Oryza Sativa yang kering bukan karena kemarau
tapi kalah dilindas banjir bandang dari negeri Hu Jintao
Adalah tangis musim hujan yang panjang dan meradang
karena laut kering, kita harus membeli garam, dapur karam
mungkin tersisa karang, atau laut telah berubah masam
Ladang – ladang tergenang nestapa petani tua
karena mereka bibit,
negara itu proletar dalam metafora
Pancasila asas bak Lenin, Gubermen berjubah jadi Stalin
Trotsky melintang, siaga .223 Remington
coba monoton, punggung tengkorak pecah
horor di benak penonton
Salatiga, Juli penghujung