Biji Mata

Kamu cantik sekali, sungguh, aku ingin memilikimu andai tidak disuruh.

Kukeluarkan berlembar-lembar Sinar Dunia lalu mulai kutumpahkan perasaan-perasaan kosong kemudian. Aku hendak menuliskan puisi padamu, kira-kira beginilah kiranya:

“Rasa-rasanya aku ingin tenggelam di lautan hitam senarai rambutmu yang kaku di dalam hening. Dimana seringkali, harus menunduk ketika terik nyala tatapmu menyublimkan dosa dan isyarat. Maka, dari balik tengkukmu aku hendak berlindung, dari mara bahaya juga kekalutan. Sehingga setiap nista di rupa berkelindan turun di lurah karena luruh ditampikkan menara lehermu.

Suaramu mensenandungkan nyanyian kalam yang tiada putus-putusnya. Andaikata genderang perang datang bersama bala tentera yang berlaksa-laksa itu, segera pulanglah mereka dengan sesal dan malu. Karena lajur angin yang larut bersama hukum alam, gugur – kemput oleh karena…

Dan seterusnya, dan seterusnya…”

Berhari-hari kemudian, masih kutulis puisi yang tiada putus-putusnya itu. Setiap kali Sinar Dunia tandas, kusuruh istriku untuk membelikan lagi. Jika tiada sekopek pun padanya, kujual Maxim dan Tupperware, menukarkannya demi Sinar Dunia dan Tibaldi. Berkali-kali iPhone berdering, berulang kawan bersanding, tak kuhiraukan pula. Ini penting, melankolik juga penting, kamerad!

Istriku sering menggerutu dengan gumam yang tak terbaca di balik bibirnya yang merekah diberangus usia durjana. Sudah sering kukatakan padanya untuk menutupi telanjangnya dengan Zara, namun dia memilih daun lontar dan pelepah sagu. Dasar tak tahu malu.

***

Sebulan berlalu, puisi tak kunjung khatam. Jari-jariku kuyu, tonggak leher sayu. Istriku entah ke mana. Sementara perempuan jelita masih terus menari di depan mata. Tiada lelah-lelahnya dia. Adakalanya, dia berdendang, kadang dia beradu peran. Namun, masih sama semua, cantik jelita.

Tapi, aku sudah capai sekali. Waktu sudah tiba dimana.

Aku hendak menutup mata barang sekejap, bersandar ke belakang, membiarkan diri tenggelam ke dalam IKEA dan meditasi a la kuantum mekanika.

Kemudian kucari-cari remote TV, menekan tombol ‘Power’, sehingga kecantikan serta ragam cinta sekejap lenyap bersama kering kerontang tubuh yang perlahan muncul, memantul di layar Flatron yang gelap: Merefleksikan manusia tanpa nama, yang tenggelam di kelam lautan merk dagang, nama besar, standarisasi seni, jembut korporasi, dan realitas plastik pada keliling pusaran samudra tanda dan makna.

– Acak kadut, November 2014

This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

Tinggalkan jejak